PALU – Pembongkaran Jembatan Yondo Mpamona di Tentena Kabupaten Poso menuai pro dan kotra di tengah masyarakat.
Ada yang setuju, dengan mendukung kebijakan tersebut untuk keindahan dan utamanya kebaikan masyarakat Poso dan Tentena khususunya.
Namun ada pula yang tak setuju, seperti dari Front Aksi untuk Rano Poso (FARP).Dan informasi yang dihimpun Selasa (26/11/19) (hari ini red) mereka akan melakukan aksi demo dengan sasaran DPRD Provinsi Sulteng.
FARP menentang kebijakan tersebut karena mereka menyebut. Warga yang sebelumnya menentang pembongkaran Jembatan Yondo Mpamona di Kabupaten Poso, mendapat perlakuan intimidasi.
“Intimidasi itu menyebabkan warga Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, tidak memberikan perlawanan,” ungkap Perwakilan FARP, Jen Richard Tandawuya, saat berada di Kota Palu, kemarin (25/11/19) sore seperti dilansir Tribun.
Jen Richard Tandawuya mengatakan, intimidasi itu dilakukan terhadap masyarakat yang menolak pembongkaran jembatan bersejarah itu. “Kami menduga masyarakat yang menolak (pembongkaran jembatan, red.) diintimidasi agar tidak melawan,” kata Richard.
Richard sapaannya, mengungkapkan, intimidasi dilakukan dengan cara melibatkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP), kepolisian, pihak kelurahan, hingga kecamatan untuk menemui masyarakat.
Tidak hanya itu, intimidasi juga dilakukan terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) setempat yang menolak pembongkaran jembatan.
“Anggota keluarga yang bekerja sebagai ASN, mereka di intimidasi supaya keluarganya tidak melawan. Pola intimidasi-nya jelas sangat ter-struktur,” kata Richard.
Berdasarkan informasi yang ada, Pemda Poso bersama PT Poso Energy membongkar jembatan tua Pamona tersebut untuk dijadikan kawasan wisata dan memperlancar keluar masuknya kapal pengerukan milik perusahaan.
Diketahui, kapal pengerukan milik PT Poso Energy akan melakukan pengerukan sepanjang 12,8 kilometer dan selebar 40 meter dengan kedalaman antara dua hingga empat meter.
Dinilai Menghilangkan Situs Sejarah
Di samping itu, Jembatan Pamona merupakan satu-satunya peninggalan budaya Mesale atau gotong royong warga di sekeliling danau yang masih tersisa.
Sehingga, kata Richard, pembongkaran tersebut sama halnya telah menghilangkan situs sejarah.
“Kalaupun untuk direnovasi, apa dasarnya? Kondisinya masih layak digunakan untuk aktivitas warga dan tidak untuk dilakukan kendaraan,” terangnya.(Tribun/BC-AM).